Selasa, 23 Oktober 2012
Pusat Bantu Pulihkan Populasi Cendana
MENURUNNYA populasi cendana dan gaharu di Provinsi NTT, mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Melalui APBN, Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran Rp 10 miliar tiap tahun anggaran sejak 2010, untuk membantu Pemprov memulihkan populasi cendana dan gaharu.
Hal itu dikatakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori kepada wartawan di Kupang, Minggu (14/10) malam.
Dia menjelaskan, dana Rp 10 miliar tersebut, sebesar Rp 5 miliar dialokasikan untuk Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Noelmina, dan sisanya untuk 20 kabupaten di NTT, masing-masing Rp 250 juta.
Bentuk perhatian Pemerintah Pusat lainnya, kata dia, adalah dibangunnya pusat pembibitan cendana dan gaharu di Kabupaten Ngada, Sumba Tengah, dan Lembata. Selain itu, dibangun pula empat unit UPTD dan Litbang pembibitan cendana di beberapa kabupaten/kota di NTT.
“Pemerintah Pusat akan terus membantu memulihkan kembali populasi cendana di NTT,” katanya.
Perhatian Pemerintah Pusat ini, katanya, sudah melalui pertimbangan yang matang, antara lain NTT pernah terkenal sebagai daerah cendana. Kualitas cendana asal NTT berbeda dengan cendana yang tumbuh di daerah lainnya di Indonesia. “Karena itu Pemerintah Pusat sangat serius membantu untuk memulihkan atau mengembalikan NTT sebagai daerah penghasil cendana dan gaharu,” katanya.
Selain bantuan berupa kucuran dana, katanya, Pemerintah Pusat juga sedang memikirkan upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk mengawasi cendana di masing-masing kabupaten/kota.
Secara alamiah, cendana tumbuh di sejumlah daerah di NTT, terutama di Timor, Sumba, dan beberapa daerah lainnya. Namun seiring perkembangan, dan tata kelola yang kurang memperhatikan pelestarian tanaman ini, populasi cendana terus mengalami penurunan sampai titik yang mengkhawatirkan. Di beberapa tempat yang dulu kaya akan cendana seperti Solor dan daerah lainnya, cendana dan gaharu sudah punah sama sekali. (aje/D-1)
Sumber : http://www.victorynewsmedia.com/berita-10907-pusat-bantu-pulihkan-populasi-cendana.html (Selasa, 16 Oktober 2012)
Senin, 22 Oktober 2012
Permintaan Ekspor Gaharu Tetap Tinggi
MATARAM, KOMPAS.com- Kayu gaharu (Aquilaria
malaccensis) memiliki pangsa pasar khusus dan permintaan yang
tinggi. Di China, Taiwan, dan khususnya Timur Tengah, kayu yang disejajarkan
dengan cendana ini laku keras.
"Kalau permintaan dari Timur Tengah, China, dan Taiwan, tidak ada batasnya, berapa pun pasti diterima. Tapi kan tiap provinsi diberi jatah, ya sebesar kuota itu yang kami penuhi," kata H Faisal Bages, pengusaha penampung dan eksportir kayu gaharu, Minggu (6/11/2011) di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Menurut Faisal, harga eskpor kayu gaharu kelas super yang tumbuh alami saat ini Rp 10 juta per kilogram (kg), naik dibanding beberapa tahun sebelumnya seharga Rp 4 juta-Rp 5 juta.
"Kalau permintaan dari Timur Tengah, China, dan Taiwan, tidak ada batasnya, berapa pun pasti diterima. Tapi kan tiap provinsi diberi jatah, ya sebesar kuota itu yang kami penuhi," kata H Faisal Bages, pengusaha penampung dan eksportir kayu gaharu, Minggu (6/11/2011) di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Menurut Faisal, harga eskpor kayu gaharu kelas super yang tumbuh alami saat ini Rp 10 juta per kilogram (kg), naik dibanding beberapa tahun sebelumnya seharga Rp 4 juta-Rp 5 juta.
Kenaikan
harga gaharu (disebut Ketimusan di Lombok), disebabkan populasi kayu yang
dijadikan wewangian dan dupa ini sangat menipis. Yang tumbuh alami bisa disebut
antara ada dan tiada. "Yang banyak beredar saat ini adalah hasil budi daya
yang umumnya diekspor," ungkap Faisal.
Sedang
pemasaran kayu gaharu diatur melalui kuota. Kuota untuk Indonesia tahun 2011
sekitar 400 ton setahun. Jatah terbesar dipegang Papua dan Kalimantan,
sedangkan NTB mendapat jatah 8 ton pada tahun 2011. Jumlah yang sama untuk
tahun 2012 nanti.
Permintaan
terbesar gaharu kelas super dari Timur Tengah, sisanya kelas menengah-bawah
diekspor ke China dan Taiwan. Di Arab
Saudi, biasanya kayu gaharu dijadikan bahan mandi uap untuk menghilangkan bau
badan yang kurang sedap, di China dan Taiwan umumnya untuk wewangian dupa,
sedangkan di Thailand ampasnya untuk bahan membuat obat nyamuk.
Soal
bibit, tutur Faisal, masih tersedia cukup banyak di NTB yang dibudidayakan di
kawasan hutan Gunung Rinjani, kemudian Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, dan
lingkar tam bang PT Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa Barat. Stok
jenis gaharu Girinof yang umumnya tumbuh, dibudi-dayakan dan dikirim dari NTB
sekitar 100.000 batang per tahun, bertinggi 25 cm-35 cm yang umurnya setahun.
Menhut : Tingkatkan Permintaan Ekspor Kayu Gaharu
Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, mengakui ekspor kayu gaharu selama ini sulit langsung pasar China dan membuat harga gaharu Indonesia lebih mahal.
Dengan perdagangan langsung, produsen Indonesia mendapat
harga tinggi karena tidak ada biaya perantara, sedangkan konsumen China
untung karena mendapat harga yang lebih murah. Mengacu pada kesepakatan
perdagangan, harga jual ekspor kayu gaharu ditetapkan US$ 10-US$ 15.000
per kilogram. Penentuan harga ditetapkan berdasar kualitas kayu gaharu.
Kesepakatan ini diharapkan juga bisa menekan ekspor kayu gaharu ilegal.
Beberapa lokasi di Indonesia memiliki iklim yang cukup mendukung bagi pengembangan hutan budi daya gaharu. Di antaranya Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Bangka Belitung dan Lampung. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan total varietas gaharu dunia mencapai 15 varietas dan enam di antaranya tumbuh di seluruh daerah di Indonesia kecuali Jawa dan Sunda Kecil.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Gaharu Indonesia, Mashur menyatakan. asosiasi siap ikut aktif dalam pengembangan budi daya. Rencananya akan ada laboratorium genetika gaharu yang dikembangkan oleh asosiasi, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian. Dengan memanfaatkan budi daya, kayu gaharu bisa dipanen pada usia tiga tahun. Selama ini, tanaman gaharu di hutan alam baru bisa diambil pada usia 6-8 tahun. Gaharu budi daya membutuhkan biaya mulai tanam hingga panen sebesar Rp 4 juta per pohon.
Indonesia kini bisa menembus pasar ekspor gaharu ke Tiongkok, setelah sebelumnya ekspor komoditas ini harus melewati negara ketiga, seperti Taiwan, Singapura, dan Hong Kong. “Selain volume perdagangan kita meningkat, petani dan pengusaha gaharu nasional juga memperoleh harga yang tinggi karena tidak ada `fee` untuk pihak ketiga dari perdagangan langsung ini, demikian juga pihak Tiongkok,” kata Menteri Kehutanan.
Di pasar Internasional, katanya, saat meresmikan ekspor langsung perdana kayu gaharu ke Tiongkok, kebutuhan gaharu dunia setiap tahun mencapai 4.000 ton dan Tiongkok merupakan salah satu negara pengimpor gaharu terbesar dengan kebutuhan per tahun mencapai 500 ton. Selama ini, ekspor gaharu Indonesia lebih banyak ditujukan ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Taiwan, Singapura, Hongkong, Amerika Serikat, dan Uni Eropa karena kesulitan untuk menembus langsung ke pasar Tiongkok.
Dalam lima tahun terakhir ini, total ekspor gaharu Indonesia berkisara 170-573 ton dengan perkiraan perolehan devisa pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 dolar AS dan meningkat menjadi 85.987.500 dolar tahun 2010.“Kita menargetkan dalam beberapa tahun ke depan ekspor gaharu tidak hanya bersumber dari hutan alam, tetapi juga dari hasil budidaya,” kata Zulkifli. Ekspor gaharu ini dilakukan dalam bentuk serpihan (chips), balok kayu (block), Serbuk (powder), dan minyak (oil).
Zulkifli mengatakan, potensi gaharu di Indonesia diperkirakan mencapai 600 ribu ton per tahun dengan sentra produksi berada di Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Harga gaharu Indonesia berkisar Rp 100.000-150.000.000 per kg, tergantung kualitasnya. Saat ini, budidaya gaharu sudah mulai dikembangkan di Bangka, Sukabumi, Bogor, Lampung, dan NTT. “Kalau kita mengandalkan dari alam saja tentulah pasokan terbatas,” katanya.
Menuru Mashur, selama ini perdagangan langsung gaharu dari Indonesia ke Tiongkok terhalang sindikasi mafia. “Kita susah langsung masuk ke pasar negara itu karena gaharu ini memang sangat mahal,” katanya. Selama ini, menurut dia, 98 persen pasokan gaharu Indonesia masih berasal dari hutan alam. “Potensinnya di Indonesia masih sangat tinggi dari hutan yang sangat luas,” katanya. Satu pohon, dia bilang bisa menghasilkan 600 kg serpihan (chips).
Gaharu kualitas paling tinggi di Indonesia “aquilaria filaria” kebanyakan berada di hutan Kalimantan Timur dan harganya mencapai Rp 150 juta per kg. “Kalau di China mereka bisa jual Rp 400 juta per kg, sedangkan di Timur Tengah untuk yang kualitas tinggi ini dijual dengan harga Rp 300 juta per kilo.
[http://www.journalreportase.com/index.php?option=com_content&view=article&id=692:menhut--tingkatkan-permintaan-ekspor-kayu-gaharu-&catid=66:nasional&Itemid=54]
EKPOR GAHARU INDONESIA SEMESTER PERTAMA
Peluang usaha untuk memproduksi gaharu memang terus menjanjikan. Peluang ekspor sebagai tujuan utama pemasaran gaharu masih sangat besar. Ini terlihat dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia mengenai data ekspor gaharu (agarwood) selama semester pertama tahun 2012. Indonesia telah mengekpor sebanyak 1.893.133 kg gaharu (chips, fresh/dried) dengan nilai US$ 5.260.564,-.
Jumlah dan nilai ekpor gaharu semester pertama tahun 2012:
Januari : US $ 578.934 (195.153 kg)
Februari : US $ 741.778 (355.850 kg)
Maret: US$ 1.056.673 (518.717 kg)
April: US$ 835.517 (235.946 kg)
Mei: US$ 1.242.750 (281.737 kg)
Juni: US$ 804.912 (305.730 kg)
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Jumlah dan nilai ekspor ini masih sangat kurang dibandingkan dengan permintaan ekspor dari luar negeri. Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, kebutuhan gaharu dunia setiap tahunnya mencapai 4.000 ton. Tiongkok merupakan salah satu negara pengimpor gaharu terbesar dengan kebutuhan per tahun mencapai 500 ton.
Jumlah dan nilai ekpor gaharu semester pertama tahun 2012:
Januari : US $ 578.934 (195.153 kg)
Februari : US $ 741.778 (355.850 kg)
Maret: US$ 1.056.673 (518.717 kg)
April: US$ 835.517 (235.946 kg)
Mei: US$ 1.242.750 (281.737 kg)
Juni: US$ 804.912 (305.730 kg)
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Jumlah dan nilai ekspor ini masih sangat kurang dibandingkan dengan permintaan ekspor dari luar negeri. Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, kebutuhan gaharu dunia setiap tahunnya mencapai 4.000 ton. Tiongkok merupakan salah satu negara pengimpor gaharu terbesar dengan kebutuhan per tahun mencapai 500 ton.
1.056.673 | |||||||||||||||||||||||||
MEMPERCEPAT PRODUKSI GAHARU DENGAN TEKNOLOGI INOKULASI
Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini
banyak diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Pemanfaatan
gaharu sangat bervariasi dari bahan baku pembuatan dupa, parfum, aroma
terapi, sabun, body lotion, hingga bahan obat-obatan sebagai anti
asmatik, anti mikrobia, stimulan kerja syaraf, dan pencernaan. Akibat
dari pola pemanenan dan perdagangan yang masih mengandalkan alam,
beberapa jenis tertentu pohon penghasil gaharu mulai langka dan telah
masuk dalam appendix II CITES.
Mengantisipasi kemungkinan pubahnya pohon penghasil gaharu jenis-jenis
langka sekaligus pemanfaatannya secara lestari. Badan Litbang Kehutanan
melakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa untuk mempercepat
produksi gaharu dengan teknologi induksi atau inokulasi.
Serangkaian penelitian yang dilakukan Badan Litbang Kehutanan saat ini
telah menghasilkan teknik budidaya pohon penghasil gaharu dengan baik,
mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman, hingga pemeliharaannya.
Sejumlah isolat jamur pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari berbagai
daerah di Indonesia telah teridentifikasi berdasar ciri morfologis.
Penelitian yang dilakukan juga telah menghasilkan empat isolat jamur
pembentuk gaharu yang telah teruji dan mampu membentuk infeksi gaharu
dengan cepat. Inokulasi menggunakan isolat jamur tersebut telah
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan hanya dalam waktu satu bulan.
Ujicoba telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa
Barat (Sukabumi dan Darmaga), dan Banten (Carita).
Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai
dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu
sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat
tersebut kemudian diidentifikasi berdasar taksonomi dan morfologi lalu
dilakukan proses skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan
respon pembentukan gaharu sesuai dengan jenis pohon penghasil gaharu
agar memberikan hasil optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan
jamur pembentuk gaharu tadi, kemudian induksi, dan terakhir pemanenan.
Untuk saat ini, produksi gaharu buatan yang dipanen pada umur 1 tahun
berada pada kelas kemedangan dengan harga jual US$ 100 per kilogram.
Di pasaran dalam negeri, kualitas gaharu dikelompokkan menjadi 6 kelas
mutu, yaitu Super (Super King, Super, Super AB), Tanggung, Kacangan
(Kacangan A, B, dan C), Teri (Teri A, B, C, Teri Kulit A, B), Kemedangan
(A, B, C) dan Suloan. Klasifikasi mutu tersebut berbeda dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang membagi mutu gaharu menjadi 3 yaitu Klas
Gubal, Kemedangan, dan Klas Abu. Perbedaan klasifikasi tersebut sering
merugikan pencari gaharu karena tidak didasari dengan kriteria yang
jelas.
(Sumber : Situs Resmi Kementerian Kehutanan RI)
MENUJU PRODUKSI GAHARU SECARA LESTARI
Departemen Kehutanan dan Institut Pertanian Bogor bekerjasama
menyelenggarakan Seminar Nasional Gaharu, pada 12 November 2009
bertempat di IPB International Convention Center (IICC), Botani
Square, Bogor. Seminar yang mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu
Secara Lestari di Indonesia” tersebut akan dibuka oleh Menteri Kehutanan
dan dihadiri instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, perguruan
tinggi, peneliti, petani, praktisi, mahasiswa, pengusaha, LSM dan
masyarakat umum yang tertarik dengan segala aspek yang berkaitan dengan
gaharu dan produknya.
Seminar bertujuan memberikan arahan ke depan untuk membangun kerangka
pencapaian pengelolaan hutan gaharu (tanaman atau alam) yang
berkelanjutan. Gaharu atau agarwood, aloewood, eaglewood dan jinkoh
mempunyai nilai jual tinggi. Gaharu dimanfaatkan untuk berbagai tujuan
seperti bahan dasar industri parfum, dupa dan obat-obatan. Kelangkaan
pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua
species Aquilaria dan Gyrinops di atur dalam CITES (Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora),
dan ekspornya dibatasi dalam kuota. Sejak tahun 2003, kuota ekspor
gaharu menurun terus menjadi sekitar 125 ton/tahun untuk setiap species.
Dalam batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20%
permintaan pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka.
Untuk menjaga kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain
harus dikonservasi, gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada
pohon gaharu hasil budidaya. Pembudidayaan pohon gaharu harus
diupayakan. Sampai saat ini pemerintah daerah beberapa provinsi yang
merupakan daerah endemik gaharu telah mensosialisasikan dan
merealisasikan program penanaman gaharu. Pohon gaharu telah ditanam
lebih dari 1750 Ha di seluruh Indonesia. Pohon-pohon ini menjadi modal
dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.
(Sumber: Situs resmi Kementerian Kehutanan RI)
Peluang Bisnis Gaharu
Hingga
kini, berdasarkan data perdagangan yang tersedia, Indonesia dan Malaysia masih
menjadi penghasil utama gaharu (dari semua spesies) dalam perdagangan
internasional gaharu. Data Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)
pada 1995-1997 menunjukkan bahwa ekspor A.
malaccensis dari Indonesia mencapai 920 ton/tahun. Ekspor tersebut termasuk beberapa spesies Aquilaria selain A. malaccensis. Sementara
itu lebih dari 340 ton A. malaccensis
diekspor dari Semenanjung Malaysia selama periode yang sama. Namun, menurut
informasi dari Sarawak Management Authority CITES, hampir 530 ton A. malaccensis diekspor dari Sarawak
pada tahun 1998.
Hingga kini pula sebagian besar negara tujuan ekspor gaharu dalam perdagangan internasional diperuntukkan bagi konsumen di Timur Jauh dan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Hong Kong dan Taiwan. Meskipun Indonesia dan Malaysia berperan penting dalam perdagangan gahru internasional, tapi Singapura-lah yang meraup untung. Meskipun negara ini bukan penghasil gaharu, tapi Singapura melakukan re-ekspor.
Keuntungan mereka jauh lebih besar karena bermain dalam sistem distribusi perdagangan gaharu internasional.
Selain negeri Timur Tengah Jepang juga pengimpor aktif gaharu dari Indonesia. Menurut Laporan Tahunan CITES pada periode 1995-2000, Jepang mengimpor sekitar 47,5 ton A. malaccensis selama periode enam tahun terakhir. Hampir semua gaharu yang diimpor atau re-ekspor Jepang berasal dari Hong Kong, Singapura, dan Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang secara signifikan berhubungan langsung dengan kebutuhan gaharu Jepang.
Pada periode 1995-2000, CITES melaporkan bahwa re-ekspor A. malaccensis Indonesia ke Jepang mencapai 114,3 ton. Jumlah itu wajar jika dikaitkan dengan industri tradisional di Jepang yang memproduksi wewangian, yang berbahan baku gaharu, serta bentuk-bentuk olahan lain seperti dupa. Tapi menurut laporan CITES pula bahwa kebutuhan industry tradisional itu hanya kecil yang lebih mengejutkan adalah Jepang kembali mengekspor gaharu dalam bentuk jadi ke negara Korea, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.
Padahal di Indonesia sendiri, sekitar 6 tahun lalu harga gubal gaharu kelas super sekitar Rp. 1 juta sampai Rp. 1,5 juta sekilogram. Harga ini jauh lebih meningkat sekarang ini, harga gubal gaharu sudah mencapai Rp 5 juta sekilogram. Dalam setiap pohon yang mencapai umur lapan hingga 10 tahun bisa Menghasilkan tiga sampai lima kilogram gubal gaharu, sehingga dalam satu pohon saja, masyarakat bisa berpenghasilan antara 15 juta hingga 25 juta.
Menurut Departemen Kehutanan, Semenanjung Malaysia, harga gaharu di 2007 adalah Kelas Super, Ringgit Malaysia (RM) 25, 000 per kg. Kelas A, RM20, 000 per kg. Kelas B, RM18, 000 per kg. Kelas C, RM 15, 000 per kg. Kleas D, RM8, 000 per kg dan Kelas E RM3, 000 per kg. Jika dirupiahkan harga di Malayasia bisa mencapai Rp 75 juta untuk kelas super dan untuk kelas terendah sekitar 9.000.000. Pasar survei yang dilakukan oleh departemen kehutanan Maysia mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 harga gaharu terus melonjak setidaknya lima kali dalam empat tahun terakhir.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang gaharu masih sangat terbuka dalam pasaran internasional. Hasilnya juga bisa diandalkan untuk mensejahterakan masyarakat. Namun sayangnya hingga kini di Indonesia orang hanya kenal gaharu sebagai peribahasa, “sudah gaharu cendana pula.” Sayangnya orang Indonesia tidak tahu dan tidak bertanya pula apa itu gaharu.
Padahal kantor berita Antara 22 November 2011 menyebut, Indonesia merupakan pengekspor gaharu terbesar di dunia. Menurut sumber Antara, Kementerian Kehutanan mengungkapkan Indonesia merupakan negara pengekspor gaharu terbesar di dunia mencapai 600 ton per tahun seiring tingginya produksi tanaman tersebut. Pada tahun 2010, penerimaan negara bukan pajak dari ekspor gaharu menembus angka Rp 4,5 miliar. Data terbaru dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa tujuan ekspor gaharu Indonesia terbesar adalah Arab Saudi mencapai 37,8 persen, Singapura 34,9 persen, Uni Emirat Arab 7,7 persen dan beberapa negara lainnya, seperti Kuwait, Macau, Vietnam, Hongkong, Jerman, China, serta Republik Korea.
Apalagi kini penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit. Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Tapi sayangnya, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia. Bahkan kini fungsi gaharu juga dipakai sebagai bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai bahan kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokkan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Dilihat dari tahun 2000, kuota permintaan pasar meningkat sekitar 300 ton/tahun. Namun hingga tahun 2002, yang baru bisa drealisasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya sekitar 10% – 20% saja. Khusus untuk jenis Aquilaria malaccensis yang mempunyai kualitas dan bernilai jual yang tinggi, usaha pembudidayaannya pun berpeluang menurunkan tingkat kelangkaan.
Bahkan dalam lima tahun terakhir ini, total ekspor gaharu Indonesia berkisar 170-573 ton dengan perkiraan perolehan devisa pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 dolar AS dan meningkat menjadi 85.987.500 dolar tahun 2010. Dengan memperhatikan kuota permintaan pasar akan komoditas gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan gaharu pun memiliki prospek yang cukup tinggi dalam upaya untuk mempersiapkan era perdagangan bebas di massa mendatang.
Sementara ada produk lain dari gaharu yang bisa menambah penghasilan yakni getahnya. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 9 sampai 10 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu. Saat pohon gaharu berumur sekitar 5-8 tahun, pohon yang tumbuh seperti pohon hutan alam itu perlu disuntik dengan obat pemuncul getah. Setiap pohon diperlukan satu ampul dengan harga Rp300 ribu.
Perlu diingat harga getah gaharu mencapai Rp5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp 5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta per Kg.
(Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/2250059-peluang-bisnis-gaharu/)
Hingga kini pula sebagian besar negara tujuan ekspor gaharu dalam perdagangan internasional diperuntukkan bagi konsumen di Timur Jauh dan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Hong Kong dan Taiwan. Meskipun Indonesia dan Malaysia berperan penting dalam perdagangan gahru internasional, tapi Singapura-lah yang meraup untung. Meskipun negara ini bukan penghasil gaharu, tapi Singapura melakukan re-ekspor.
Keuntungan mereka jauh lebih besar karena bermain dalam sistem distribusi perdagangan gaharu internasional.
Selain negeri Timur Tengah Jepang juga pengimpor aktif gaharu dari Indonesia. Menurut Laporan Tahunan CITES pada periode 1995-2000, Jepang mengimpor sekitar 47,5 ton A. malaccensis selama periode enam tahun terakhir. Hampir semua gaharu yang diimpor atau re-ekspor Jepang berasal dari Hong Kong, Singapura, dan Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang secara signifikan berhubungan langsung dengan kebutuhan gaharu Jepang.
Pada periode 1995-2000, CITES melaporkan bahwa re-ekspor A. malaccensis Indonesia ke Jepang mencapai 114,3 ton. Jumlah itu wajar jika dikaitkan dengan industri tradisional di Jepang yang memproduksi wewangian, yang berbahan baku gaharu, serta bentuk-bentuk olahan lain seperti dupa. Tapi menurut laporan CITES pula bahwa kebutuhan industry tradisional itu hanya kecil yang lebih mengejutkan adalah Jepang kembali mengekspor gaharu dalam bentuk jadi ke negara Korea, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.
Padahal di Indonesia sendiri, sekitar 6 tahun lalu harga gubal gaharu kelas super sekitar Rp. 1 juta sampai Rp. 1,5 juta sekilogram. Harga ini jauh lebih meningkat sekarang ini, harga gubal gaharu sudah mencapai Rp 5 juta sekilogram. Dalam setiap pohon yang mencapai umur lapan hingga 10 tahun bisa Menghasilkan tiga sampai lima kilogram gubal gaharu, sehingga dalam satu pohon saja, masyarakat bisa berpenghasilan antara 15 juta hingga 25 juta.
Menurut Departemen Kehutanan, Semenanjung Malaysia, harga gaharu di 2007 adalah Kelas Super, Ringgit Malaysia (RM) 25, 000 per kg. Kelas A, RM20, 000 per kg. Kelas B, RM18, 000 per kg. Kelas C, RM 15, 000 per kg. Kleas D, RM8, 000 per kg dan Kelas E RM3, 000 per kg. Jika dirupiahkan harga di Malayasia bisa mencapai Rp 75 juta untuk kelas super dan untuk kelas terendah sekitar 9.000.000. Pasar survei yang dilakukan oleh departemen kehutanan Maysia mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 harga gaharu terus melonjak setidaknya lima kali dalam empat tahun terakhir.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang gaharu masih sangat terbuka dalam pasaran internasional. Hasilnya juga bisa diandalkan untuk mensejahterakan masyarakat. Namun sayangnya hingga kini di Indonesia orang hanya kenal gaharu sebagai peribahasa, “sudah gaharu cendana pula.” Sayangnya orang Indonesia tidak tahu dan tidak bertanya pula apa itu gaharu.
Padahal kantor berita Antara 22 November 2011 menyebut, Indonesia merupakan pengekspor gaharu terbesar di dunia. Menurut sumber Antara, Kementerian Kehutanan mengungkapkan Indonesia merupakan negara pengekspor gaharu terbesar di dunia mencapai 600 ton per tahun seiring tingginya produksi tanaman tersebut. Pada tahun 2010, penerimaan negara bukan pajak dari ekspor gaharu menembus angka Rp 4,5 miliar. Data terbaru dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa tujuan ekspor gaharu Indonesia terbesar adalah Arab Saudi mencapai 37,8 persen, Singapura 34,9 persen, Uni Emirat Arab 7,7 persen dan beberapa negara lainnya, seperti Kuwait, Macau, Vietnam, Hongkong, Jerman, China, serta Republik Korea.
Apalagi kini penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit. Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Tapi sayangnya, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia. Bahkan kini fungsi gaharu juga dipakai sebagai bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai bahan kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokkan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Dilihat dari tahun 2000, kuota permintaan pasar meningkat sekitar 300 ton/tahun. Namun hingga tahun 2002, yang baru bisa drealisasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya sekitar 10% – 20% saja. Khusus untuk jenis Aquilaria malaccensis yang mempunyai kualitas dan bernilai jual yang tinggi, usaha pembudidayaannya pun berpeluang menurunkan tingkat kelangkaan.
Bahkan dalam lima tahun terakhir ini, total ekspor gaharu Indonesia berkisar 170-573 ton dengan perkiraan perolehan devisa pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 dolar AS dan meningkat menjadi 85.987.500 dolar tahun 2010. Dengan memperhatikan kuota permintaan pasar akan komoditas gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan gaharu pun memiliki prospek yang cukup tinggi dalam upaya untuk mempersiapkan era perdagangan bebas di massa mendatang.
Sementara ada produk lain dari gaharu yang bisa menambah penghasilan yakni getahnya. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 9 sampai 10 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu. Saat pohon gaharu berumur sekitar 5-8 tahun, pohon yang tumbuh seperti pohon hutan alam itu perlu disuntik dengan obat pemuncul getah. Setiap pohon diperlukan satu ampul dengan harga Rp300 ribu.
Perlu diingat harga getah gaharu mencapai Rp5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp 5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta per Kg.
(Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/2250059-peluang-bisnis-gaharu/)
Langganan:
Postingan (Atom)